Konflik
internal dalam suatu partai layaknya ”popularitas batu akik sekarang yang lagi
nge-trend”. Banyaknya partai yang mengindap konflik
internal mulai memanas pasca terpilihnya presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasca pemilihan presiden ini, ada bebarap
partai bergelut dengan konflik internal yang sedikitnya menyita perhatian
berbagai pihak. Bukan hanya para elit politik yang perhatiannya tersita, para
masyarakatpun juga tersita perhatiannya. Parta-partai yang dimaksud diantaranya
adalah Golkar, PAN, dan PPP. Dari ketiga partai tersebut, Partai Golkar
memiliki tingkat konflik yang paling berat. Mengapa dikatakan paling berat,
karena memang konflik internal golkar ini merupakan perpecahan menjadi dua kubu
(kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie) yang masing-masing kubunya sama
kuat. Sedangkan partai lain, kekuatan perpecahannya tidak sampai se-level
dengan partai pohon beringin ini.
Seperti
yang kita ketahui, partai pohon beringin ini memilih untuk bergabung dengan tim
Koalisi Merah Putih (KMP) yang pada saat pemilihan presiden lalu koalisi ini mengusungkan nama
Prabowo-Hatta sebagai calon presiden dan wakil presiden untuk periode
2014-2019. Namun, pada saat pertarungan nama usungan dari KMP ini harus
menerima kekalahan karena perolehan suara dari pasangan Prabowo-Hatta lebih
rendah dibandingkan suara perolehan pasangan Jokowi-JK. Pasca resminya Jokowi
menjadi presiden RI, Partai Golkar ini tetap berada di Koalisi Merah Putih yang
merupakan gabungan dari Partai Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, dan PKS. KMP
memilih berkedudukan sebagai oposisi pada masa pemerintahan Jokowi-JK.
Setelah
masa pilpres yang diwarnai berbagai kericuhan ini berlalu, masing-masing partai
kemBali lagi memfokuskan persiapan partainya untuk melakukan agenda-agenda
kedepannya. Partai Golkar yang dibawah kepemimpinan Aburizal Bakrie berbenah diri untuk melanjutkan agenda
partai mereka. Setelah ikut bergelut pada masa panasnya pilpres 2014, tiba
waktunya Partai Golkar untuk melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) ke IX
pemilihan kepengurusan Partai Golkar selanjutnya. Kubu Aburizal menyatakan
bahwa Munas Golkar akan diselenggarakan pada tahun 2015, memang seharusnya Munas
dilaksanakan lima tahun sekali, Munas ke VIII yang lalu dilaksanakan pada tahun
2009, seharusnya Munas ke IX dilaksanakan pada tahun 2014. (kompas.com). Namun kenyataannya Munas ke
IX tidak bisa diselenggarakan pada tahun 2014 karena anggota yang mendukung
pelaksanaan Munas di tahun 2014 tidak mencapai dari dua per tiga keanggotaan
yang ada, maka dari itu Munas ke IX disepakati dilaksanakan tahun 2015.
Walaupun demikian, ada terdapat kubu penentangnya (kubu Agung Laksono) yang
ingin tetap melaksanakan Munas ke IX di tahun 2014.
Seiring
berjalannya waktu, Aburizal Bakrie selaku ketua umum Partai Golkar mengeluarkan
pernyataannya bahwa Munas IX golkar harus dipercepat dan dilaksanakan tahun
2014. Dipaparkannya alasan bahwa Munas ini harus dipercepat karena banyak
anggota yang tidak mau terlalu melambat-lambatkan pelaksanaan Munas, karena
kebanyakan dari anggota juga memiliki kesibukan keluarga di akhir dan awal
tahun. Selain itu, alasan lainnya adalah banyaknya agenda yang harus dikerjakan
oleh para anggota dewan, sehingga mereka ingin pelaksanaan Munas tetap di tahun
2014. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang membingungkan bagi para kubu
penentang sebelumnya.
Perilaku
Aburizal atau yang biasa disapa Ical ini sangat mencerminkan bahwa ia memiliki
tujuan tertentu atas percepatan pelaksanaan Munas. Percepatan oleh Aburizal ini
bisa dikatakan sebagai strateginya untuk mengamankan jabatannya sebagai ketua
umum. Konon, jika ia mengumumkan percepatan secara tiba-tiba, maka peluang
untuk kader lain yang ingin menjadi calon ketuam umum selanjutnya akan menjadi
kecil. Karena mereka hanya mempunyai keterbatasan persiapan dalam menuju
pertarungan. Seperti yang kita ketahui, bahwa sosok Aburizal tidak se-populer
tahun-tahun sebelumnya. Bahkan ada isu bahwa sebagian anggota partai pohon
beringin ini sudah tidak menginginkan Ical lagi sebagai ketua umum. Percepatan
pelaksanaan Munas tersebut menilmbulkan konflik yang sangat memanas, sehingga
terjadi pembelahan di Partai Golkar, yaitu adanya kubu Aburizal Bakrie dan kubu
Agung Laksono.
Tidak
ditemukannya kesepakatan antara keduabelah kubu, maka masing-masing kubu
melaksanakan Munas Golkar ke IX dengan versi masing-masing. Kubu Ical
melaksanakan Munas pada tanggal 30 November sampai 3 Desember 2014 di Bali,
sedangkan kubu Agung Laksono melaksanakan Munas pada tanggal 6-8 Desember di
Ancol, Jakarta. (info dari: kompas.com).
Pelaksanaan Munas oleh masing-masing kubu ini membuktikan bahwa para elit
politik memang lagi haus akan kekuasaan. Sehingga berbagai cara mereka lakukan
dan mereka halalkan, tanpa memikirkan kebenaran dan kepantasan jalan yang
mereka tempuh. Padahal mereka mempunyai tugas pokok yang penting sebagai elit
politik dari kalangan partai, yaitu sebagai perantara antara masyarakat dan
pemerintahan. Konflik internal partai ini sungguh menyita perhatian berbagai
pihak. Akbar Tanjung selaku Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar pun turun
tangan melakuakan mediasi terhadap Ical dan Agung. Namun sayang, usahanya telak
gagal. Karena memang, masing-masing kubu ini memiliki kekuatannya dan merasa
memiliki kepantasan. Islah telah dilakukan, namun untuk menuju perdamaian tetap
saja berbuah kegagalan. Pengajuan kasasi pun juga dipilih Ical dkk sebagai
langkah selanjutnya.
Hingga
akhirnya konflik ini ditangani oleh Mahkamah Partai. Pada saati itu ada 4 hakim
yang menanganinya, yaitu Muladi, HAS Natabaya, Andi Mattalatta, dan Djasri Marin.
Pada ujungnya, Mahkamah Partai pun tidak dapat memberi putusan yang pasti.
Alasannya adalah adanya keterpihakan para hakim terhadap perkubuan. Pada saat
itu, hakim Andi Mattalatta dan Djasri Marin menyatakan Munas ancol yang sah
tapi harus mengakomodir tokoh-tokoh dari Munas Bali. Sementara hakim Muladi dan
Natabaya dilain pihak punya pendapat yang berbeda, Muladi dan Natabaya
berpendapat karena termohon Ical dkk kasasi, mereka menghendaki penyelesaian masalah
melalui pengadilan, sehingga kedua hakim ini tidak dapat memberi putusan. Karena
hakimnya ada 4, dan ada 2 pendapat berbeda,
maka Mahkamah Partai tidak dapat mengambil keputusan karena tidak tercapai
kesepakatan antara para hakim.
Tidak
ada kejelasan dari Mahkamah Partai membuat berbagai pihak banyak berasumsi. Banyak
yang tidak memahami maksud dari putusan Mahkamah Partai. Bahkan ada yang
menyimpulkan bahwa Mahkamah Partai mengabulkan permohonan kubu Agung dkk.
Demikian juga yang pengambilan sikap oleh kubu Agung, mereka menganggap bahwa
mereka telah dimenangkan oleh Mahkamah Partai. Pasca putusan itu, Agung segera
mendaftarkan kepengurusan barunya kepada Kemenkumham. Dan yang mengejutkan
adalah pihak Kemenkumham menerima dan mensahkan kepengurusan kubu Agung. Hal
ini semakin memanaskan keadaan. Banyak pihak yang menyayangkan atas sikap
Kemenkumhan tersebut. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa Mahkamah Partai
tidak ada memberikan keputusan yang jelas memenagkan kubu Ical ataupun kubu Agung.
Seharusnya,
dalam menangani hal ini Kememkumham bisa lebih sabar dan profesional
menghadapinya. Jika kita menelusuri seluk beluk konflik ini, maka kita akan
teringat bahwa kasus ini hampir mirip dengan kasus PDIP pada masa orde baru.
Dimana waktu itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) juga terbelah menjadi dua
kubu, yaitu kubu Megawati dan kubu Soerjadi. Pada masa itu, pemerintah menerima
kepengurusan yang dipimpin oleh Soerjadi. Sehingga Megawati dan pengikutnya
merasa terpojokkan dan terdzolimi. Maka tidak salah jika konflik Golkar
sekarang disamakan dengan konflik PDI orde baru, bahkan ada yang mengatakan ini
merupakan jawaban belas dendam dari PDIP (dulunya PDI).
Dari
fenomena tersebut, sangatlah jelas bahwa para elit politik kita sekarang ini
sangat nampak dan jelas akan mengedepankan kepentingannya, bukan kepentingan
rakyat. Mereka hanylah memikirkan untung-rugi, dan berusaha untuk meraih
keuntungan, keuntungan, dan hanya keuntungan. Jika sudah demikian, apa gunanya
keberadaan suatu hukum jikalau badan hukum tersebut juga dilibatkan dalam
perpolitikkan. Badan hukum sekarang hanyalah bagian dari boneka permainan
politik yang sedang dimainkan oleh pihak-pihak tertentu. Sudah seharusnya badan
hukum bersifat netral dan memandang pada nilai benar dan salah, bukan seperti
perpolitikan yang selalu memandang dan membanding-bandingkan antara untung dan
rugi.
Oleh
karena itu, hendaknya semua pihak yang melihat kondisi permasalahan yang ada
ini bisa mendewasakan pikirannya dalam berpolitik. Tidak seharusnya kita
sembarangan menyimpulkan suatu keadaan yang hanya berdasarkan beberapa data
yang terpapar. Untuk menuju perpolitikan yang dewasa, kita memang harus
dituntut agar memekakan diri terhadap setiap fenomena yang terjadi. Sehingga
kita tidak ikut-ikutan terjerumus pada sebelah pihak. Dalam upaya mendewasakan
perpolitikan ini, taat hukun dan hukum yang taat juga merupakan hal penting
yang mendorong merubah perpolitikan menjadi lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar