Dalam sebuah negara demokrasi, memang setiap
warga negara berhak untuk aktif dalam perpolitikan. Rakyat memiliki hak untuk
bebas memilih dan dipilih ketika berdemokrasi. Namun di balik kebebasan itu
muncul lah permasalahan, salah satunya adalah berpolitik yg berlebihan. Semua
mengemukakan haknya dengan segala tindakan. Seolah-olah tindakan yg seperti itu
dianggap benar. Hal tsb bisa saja di anggap benar di Indonesia, karna memang
kenyataannya kurangnya pendidikan atau
pengetahuan tentang politik. sehingga muncul lah kekacauan dalam berdemokrasi.
Di era sekarang, perebutan kursi di dalam
parlemen semakin menjadi-jadi. Para parpol sedemikian rupa mengatur strateginya
agat memperoleh kursi kekuasaan yg diinginkan. Sehingga kinerja parpol hanya
terfokus mengusung tokohnya, dan tidak lagi memprioritaskan agenda
memperjuangkan rakyat. Padahal secara umum parpol itu memiliki fungsi sebagai
berikut:
- Sebagai sarana komunikasi politik, yaitu di satu pihak merumuskan kepentingan (interest articulation) dan menggabungkan atau menyalurkan kepentingan (interet aggregation) masyarakat untuk disampaikan dan diperjuangkan kepada pemerintah, sedangkan di pihak lain juga berfungsi menjelaskan dan menyebarluaskan kebijaksanaan pemerintah kepada masyarakat (khususnya anggota parpol yang bersangkutan.
- Sebagai sarana sosialisasi politik, yaitu proses dimana seseorang memperoleh pandangan, orientasi dan nilai-nilai dari masyarakat di mana dia berada. Proses tersebut juga mencakup proses di mana masyarakat mewariskan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Sebagai sarana rekrutmen politik (instrument of political recruitment), yakni proses melalui mana partai mencari anggota baru dan mengajak orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rekrutmen politik akan menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, dan sekaligus merupakan salah satu cara untuk menyeleksi para calon pimpinan partai atau pemimpin bangsa.
- Sebagai sarana pengatur konflik, yakni bahwa dalam negara demokratis yang masyarakatnya terbuka dan plural, perbedaan dan persaingan pendapat sangatlah wajar, akan tetapi sering menimbulkan konflik sosial yang sangat luas. Oleh karena itu, konflik harus bisa dikendalikan atau dijinakan agar tidak berlarut-larut yang bisa menggoyahkan dan membahayakan eksistensi bangsa. Dalam hal ini, parpol dapat berperan menekan konflik seminimal mungkin.
Dari fungsi umum tersebut dapat digambarkan bahwa objek utama dari fungsi
partai politik tersebut adalah masyarakat sebagai konstituen dalam
perpolitikan. Masyarakat atau kelompoknya yang biasa disebut dengan massa,
tentu merupakan sasaran utama partai politik untuk meraih dukungan dalam sebuah
penyelenggaraan kegiatan politik. Dukungan inilah yang nantinya akan membuat
partai politik mengerahkan segenap kemampuannya untuk memobilisasi massa agar
dapat meraih dukungan tersebut. Salah satu instrumen yang digunakan oleh partai
politik untuk dapat memobilisasi massa adalah dengan social
cleavage atau pembilahan sosial dimana partai politik dengan sengaja
“membelah diri” demi mendapatkan dukungan dari massa yang memang menjadi
basis utama dukungan mereka. Adanya pembilahan ini sah-sah saja untuk
dilakukan karena memang sistem demokrasi mengijinkan hal tersebut untuk
terjadi. Apalagi jika melihat dari kultur masyarakat Indonesia yang lebih
cenderung hidup berkelompok sehingga upaya pemilahan ini juga secara tidak
langsung mendapat dukungan dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu agar
kelompok mereka dapat memiliki perwakilan di parlemen maupun pemerintahan
yang nantinya juga akan dapat memperjuangkan kepentingan mereka.
Dapat dikatakan bahwa pembilahan dalam partai
politik cenderung memiliki motif untuk meraih kekuasaan atas keterwakilan
golongan atau massa tertentu sehingga yang terjadi saat ini adalah banyaknya
partai politik yang ada di Indonesia tidak menunjukkan bahwa ada bnyak ideologi
yang tertanam dalam partai-partai tersebut, tetapi lebih mengarah kepada
golongan atau kelompok massa siapa yang berkuasa di dalam partai tersebut
Sistem kepartaian menurut Giovanni Sartori dapat
dipilah menjadi 4 sistem kepartaian berdasarkan jarak ideologi di antara partai-partai
yang ada, yaitu :
1. Pluralisme
sederhana yang tidak terpolarisasi, bipolar (dua partai) dan sentripetal
seperti sistem dua partai di Amerika Serikat.
2.
Pluralisme moderat yang memiliki polaritas kecil,
bipolar dengan tiga atau empat partai sebagai basis, dan sentripetal
seperti sistem banyak partai di Belanda.
3.
Pluralisme ekstrim yang memiliki polaritas besar,
multipolar dengan banyak partai, dan sentrifugal seperti sistem kepartaian di
Italia.
4.
Sistem kepartaian hegemoni yang memiliki polaritas sangat
besar, terdiri atas partai dengan jumlah sangat banyak, dan sentrifugal. Dalam
sistem ini, sejumlah partai diizinkan ada tetapi hanya sebagai partai kelas dua
karena mereka tidak diizinkan untuk berkompetisi bebas dengan partai hegemoni
seperti ketika masa Orde Baru di Indonesia dimana kekuasaan Golkar pada saat
itu nyaris tidak tersentuh oleh partai politik lain.
Sistem kepartaian Indonesia menganut sistem multi partai (Pluralisme ekstrim), sebgaimana yg
telah tersirat dalam pasal 6A(2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa presiden dan
wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Frasa gabungan partai politik mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atatu
lebih yang bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan presiden dan wakio
presiden dan bersaing dengan calon lain yang diusulkan partai-partai lain. Ini
artinya sistem kepartaian di Indonesia harus diikuti oleh minimal 3 partai
politik atau lebih.
Untuk memaksimalkan urgensi
kehadirannya bagi masyarakat dan meneguhkan masa depan yang cerah, partai
politik juga harus melakukan reformasi dan revitalisasi beberapa hal dibawah,
diantaranya adalah:
1.
revitalisasi
orientasi politik dan program partai. Selama ini partai hanya sebagai entitas
politik yang lebih mencitrakan sebagai satuan politik dalam mencapai kekuasaan
atau bentuk-bentuk keuntungan materi lainnya daripada sebagai saluran kehendak
para konstituen (masyarakat). Partai politik harus benar-benar memiliki program
kongkret untuk kesejahteraan rakyat.
2.
reformasi
sistem partai yaitu menjauhkan partai dari oligarki. Sejauh ini, partai hanya
dikuasai oleh segelintir elite yang berada di pucuk pimpinan organisasi. Coba
lihat, siapa sebenarnya lingkaran elit utama partai? Anggota calon maupun yang
telah terpilih menjadi legisltif? Dipastikan dipenuhi oleh kroni
keluarga-keluarga elite partai. Hal ini menunjukkan ”kue” partai tak
terdistribusikan dengan baik ke lingkaran luar elit partai yang justeru akan
mengecilkan pamor partai.
3.
revitalisasi
kualitas Sumber daya manusia (SDM) partai. Hal ini seringkali luput dari
perhatian pimpinan partai. Rekruitmen anggota partai kadangkala menegasikan
unsur kualitas dam komitmennya. Mereka akhirnya bukan membesarkan partai tapi
justeru mengecilkan partai karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk
senantiasa berusaha mencari terobosan-terobosan baru meningkatkan citra partai.
Jika ini terjadi, dipastikan masyarakat akan melirik partai yang memiliki SDM
yang bagus. Itu artinya kepercayaan (trust) publik sangat tergantug kepada
kader-kader partai yang berkualitas.
4.
revitalisasi
mental kader partai. Setiap kader partai haruslah yang benar-benar bersih dari
cap ”KKN” (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme), berkualitas, memiliki integritas,
amanah dan senantiasa memperjuangkan kepentingan rakyat. Jika hal ini dilakukan
dengan baik, maka diyakini betul para pemilih akan memilih partai ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar