Selasa, 03 Desember 2013

Optimalisasi Parpol dan Sistem Kepartaian



Dalam sebuah negara demokrasi, memang setiap warga negara berhak untuk aktif dalam perpolitikan. Rakyat memiliki hak untuk bebas memilih dan dipilih ketika berdemokrasi. Namun di balik kebebasan itu muncul lah permasalahan, salah satunya adalah berpolitik yg berlebihan. Semua mengemukakan haknya dengan segala tindakan. Seolah-olah tindakan yg seperti itu dianggap benar. Hal tsb bisa saja di anggap benar di Indonesia, karna memang kenyataannya  kurangnya pendidikan atau pengetahuan tentang politik. sehingga muncul lah kekacauan dalam berdemokrasi.
Di era sekarang, perebutan kursi di dalam parlemen semakin menjadi-jadi. Para parpol sedemikian rupa mengatur strateginya agat memperoleh kursi kekuasaan yg diinginkan. Sehingga kinerja parpol hanya terfokus mengusung tokohnya, dan tidak lagi memprioritaskan agenda memperjuangkan rakyat. Padahal secara umum parpol itu memiliki fungsi sebagai berikut:


  1. Sebagai sarana komunikasi politik, yaitu di satu pihak merumuskan kepentingan (interest articulation) dan menggabungkan atau menyalurkan kepentingan (interet aggregation) masyarakat untuk disampaikan dan diperjuangkan kepada  pemerintah, sedangkan di pihak lain juga berfungsi menjelaskan dan menyebarluaskan kebijaksanaan pemerintah kepada masyarakat (khususnya anggota parpol yang bersangkutan. 
  2. Sebagai sarana sosialisasi politik, yaitu proses dimana seseorang memperoleh  pandangan, orientasi dan nilai-nilai dari masyarakat di mana dia berada. Proses tersebut juga mencakup proses di mana masyarakat mewariskan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. 
  3.  Sebagai sarana rekrutmen politik (instrument of political recruitment), yakni  proses melalui mana partai mencari anggota baru dan mengajak orang yang  berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rekrutmen politik akan menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, dan sekaligus merupakan salah satu cara untuk menyeleksi para calon pimpinan partai atau pemimpin bangsa. 
  4.  Sebagai sarana pengatur konflik, yakni bahwa dalam negara demokratis yang masyarakatnya terbuka dan plural, perbedaan dan persaingan pendapat sangatlah wajar, akan tetapi sering menimbulkan konflik sosial yang sangat luas. Oleh karena itu, konflik harus bisa dikendalikan atau dijinakan agar tidak berlarut-larut yang bisa menggoyahkan dan membahayakan eksistensi bangsa. Dalam hal ini,  parpol dapat berperan menekan konflik seminimal mungkin.


            Dari fungsi umum tersebut dapat digambarkan bahwa objek utama dari fungsi partai  politik tersebut adalah masyarakat sebagai konstituen dalam perpolitikan. Masyarakat atau kelompoknya yang biasa disebut dengan massa, tentu merupakan sasaran utama partai politik untuk meraih dukungan dalam sebuah penyelenggaraan kegiatan politik. Dukungan inilah yang nantinya akan membuat partai politik mengerahkan segenap kemampuannya untuk memobilisasi massa agar dapat meraih dukungan tersebut. Salah satu instrumen yang digunakan oleh partai politik untuk dapat memobilisasi massa adalah dengan  social cleavage atau pembilahan sosial dimana partai politik dengan sengaja “membelah diri” demi mendapatkan dukungan dari massa yang memang menjadi  basis utama dukungan mereka. Adanya pembilahan ini sah-sah saja untuk dilakukan karena memang sistem demokrasi mengijinkan hal tersebut untuk terjadi. Apalagi jika melihat dari kultur masyarakat Indonesia yang lebih cenderung hidup berkelompok sehingga upaya  pemilahan ini juga secara tidak langsung mendapat dukungan dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu agar kelompok mereka dapat memiliki perwakilan di parlemen maupun  pemerintahan yang nantinya juga akan dapat memperjuangkan kepentingan mereka.
Dapat dikatakan bahwa pembilahan dalam partai  politik cenderung memiliki motif untuk meraih kekuasaan atas keterwakilan golongan atau massa tertentu sehingga yang terjadi saat ini adalah banyaknya partai politik yang ada di Indonesia tidak menunjukkan bahwa ada bnyak ideologi yang tertanam dalam partai-partai tersebut, tetapi lebih mengarah kepada golongan atau kelompok massa siapa yang berkuasa di dalam partai tersebut
Sistem kepartaian menurut Giovanni Sartori dapat dipilah menjadi 4 sistem kepartaian berdasarkan jarak ideologi di antara partai-partai yang ada, yaitu :
1.      Pluralisme sederhana yang tidak terpolarisasi, bipolar (dua partai) dan sentripetal seperti sistem dua partai di Amerika Serikat.
2.      Pluralisme moderat yang memiliki polaritas kecil, bipolar dengan tiga atau empat  partai sebagai basis, dan sentripetal seperti sistem banyak partai di Belanda.
3.      Pluralisme ekstrim yang memiliki polaritas besar, multipolar dengan banyak partai, dan sentrifugal seperti sistem kepartaian di Italia.
4.      Sistem kepartaian hegemoni yang memiliki polaritas sangat besar, terdiri atas partai dengan jumlah sangat banyak, dan sentrifugal. Dalam sistem ini, sejumlah partai diizinkan ada tetapi hanya sebagai partai kelas dua karena mereka tidak diizinkan untuk berkompetisi bebas dengan partai hegemoni seperti ketika masa Orde Baru di Indonesia dimana kekuasaan Golkar pada saat itu nyaris tidak tersentuh oleh partai  politik lain.

Sistem kepartaian Indonesia menganut sistem multi partai (Pluralisme ekstrim), sebgaimana yg telah tersirat dalam pasal 6A(2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Frasa gabungan partai politik mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atatu lebih yang bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan presiden dan wakio presiden dan bersaing dengan calon lain yang diusulkan partai-partai lain. Ini artinya sistem kepartaian di Indonesia harus diikuti oleh minimal 3 partai politik atau lebih.
Untuk memaksimalkan urgensi kehadirannya bagi masyarakat dan meneguhkan masa depan yang cerah, partai politik juga harus melakukan reformasi dan revitalisasi beberapa hal dibawah, diantaranya adalah:
1.       revitalisasi orientasi politik dan program partai. Selama ini partai hanya sebagai entitas politik yang lebih mencitrakan sebagai satuan politik dalam mencapai kekuasaan atau bentuk-bentuk keuntungan materi lainnya daripada sebagai saluran kehendak para konstituen (masyarakat). Partai politik harus benar-benar memiliki program kongkret untuk kesejahteraan rakyat.
2.       reformasi sistem partai yaitu menjauhkan partai dari oligarki. Sejauh ini, partai hanya dikuasai oleh segelintir elite yang berada di pucuk pimpinan organisasi. Coba lihat, siapa sebenarnya lingkaran elit utama partai? Anggota calon maupun yang telah terpilih menjadi legisltif? Dipastikan dipenuhi oleh kroni keluarga-keluarga elite partai. Hal ini menunjukkan ”kue” partai tak terdistribusikan dengan baik ke lingkaran luar elit partai yang justeru akan mengecilkan pamor partai.
3.       revitalisasi kualitas Sumber daya manusia (SDM) partai. Hal ini seringkali luput dari perhatian pimpinan partai. Rekruitmen anggota partai kadangkala menegasikan unsur kualitas dam komitmennya. Mereka akhirnya bukan membesarkan partai tapi justeru mengecilkan partai karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk senantiasa berusaha mencari terobosan-terobosan baru meningkatkan citra partai. Jika ini terjadi, dipastikan masyarakat akan melirik partai yang memiliki SDM yang bagus. Itu artinya kepercayaan (trust) publik sangat tergantug kepada kader-kader partai yang berkualitas. 
4.       revitalisasi mental kader partai. Setiap kader partai haruslah yang benar-benar bersih dari cap ”KKN” (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme), berkualitas, memiliki integritas, amanah dan senantiasa memperjuangkan kepentingan rakyat. Jika hal ini dilakukan dengan baik, maka diyakini betul para pemilih akan memilih partai ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar